H-4 Deadline…
Ha…parah…
Lagi-lagi aku kehilangan kata-kata. Lagi-lagi kataku tak punya makna. Lagi-lagi kataku tak menyampaikan apa-apa. Aku menatap layar komputerku frustasi. Barisan kata-kataku tak bertambah dari lima baris saja sejak 3 jam yang lalu.
“Huarggh!!!!!!!!!” pekikku. Hanya sunyi yang menyambut. Dinding kamar kosku pun tak menyahut. Penghuni lain juga tak merespon. Mereka terlalu percaya pada bualanku tentang inspirasi yang selalu datang dari erangan dan teriakanku.
Huah. Kepalaku buntu. Eh, salah kan, maksudku, otakku buntu.
Kualihkan pandanganku dari layar komputer ke ranjangku, buntu. Ke arah keranjang baju kotorku, buntu. Kuputar kepalaku ke tumpukan buku-buku di atas meja belajarku, aku teringat pada ujian tengah semester yang tinggal 2 hari lagi, membuatku semakin buntu dan buntu.
“Wuargh….!!!!” Teriakanku kembali membahana memantul ke dinding-dinding kamarku, menyelip di celah-celah ventilasi dan pintu dan entah terdengar entah sampai mana. Aku tak peduli.
“Aku tak peduli!!!” teriakku lagi, menyuarakan kekesalanku pada diri yang bodoh dan tak berbakat ini.
Hah, keningku berkedut-kedut, tampangku super kusut dan rambutku awut-awutan, membuatku terlihat tak jauh beda dengan Einstein yang mencibir di poster yang kupasang di depan pintu kamarku.
Oh, Tuhan, tolonglah hambaMu ini mencari inspirasi untuk menulis cerpen enam halaman saja. Enam halaman saja oh, Tuhan…,Cuma enam halaman ini Ya Tuhan…!, batinku.
Kruyuk…, genderang perutku yang menjawab. Hah, ini tak berguna. Mengeluh dan mendekam di kamar sepanjang hari sama sekali tak membantuku. Sudahlah, mungkin lebih baik kupenuhi saja tuntutan cacing-cacing peliharaanku ini dulu, semoga saja setelah itu mereka membantuku mencari inspirasi untuk menulis cerpen yang cukup bagus untuk kukirim ke lomba cerpen yang deadline-nya tinggal 4 hari lagi. Amin.
***
Aku menguyah makananku tak berselera. Kupandangi nasi goreng yang sebenarnya berbau harum itu dengan hampa. Hmm, apa aku membuat cerita tentang seorang koki atau tentang makanan saja ya? Ah, aku sendiri tidak bisa menanak nasi. Payah.
Pandanganku beralih ke kasir warteg tempatku makan. Ia menekuni angka-angka di bukunya dengan teliti. Sesekali menghisap rokoknya dan menghembuskannya ke udara. Memenuhi udara dengan partikel-partikel yang berbahaya bagi orang lain. Ia tipikal orang yang hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya. Tipe pria yang membagi kenalannya menjadi golongan yang menguntungkan baginya dan yang tidak. Tipe orang yang hanya perduli pada materi dan duniawi. Yak, sekian analisaku mengenai si kasir. Analisa yang kurang berguna sebenarnya, karena tidak membantuku sama sekali untuk mendapatkan inspirasi.
Dari kursiku yang menghadap ke jalanan, terlihat pasangan-pasangan tampak berjalan berdampingan tertawa-tawa sambil saling melemparkan pandangan mesra. Hmm, kisah cinta sepertinya cukup bagus untuk menjadi tema cerpen kali ini. Tapi, lagi-lagi, aku sendiri belum pernah mengalami kisah cinta yang mendebarkan hati. Jika ditanya apa itu cinta, aku mungkin akan mengalihkan pembicaraan dengan berkata polos, “Ehm, makan yuk!”
Meski aku pernah mendengar seseorang berkata kepadaku, ‘Kadang, yang tak pernah mengalami, menuliskannya, sedang yang mengalaminya kadang malah menyimpannya sendiri.’
Fantasi dan imajinasi. Mungkin itu adalah masalah terbesarku sebagai seorang penulis. Sebenarnya dari dulu aku sudah tahu itu. Tapi, aku hanya tak ingin berhenti pada satu kenyataan yang berkata aku sudah pada batasku. Aku hanya tak ingin menyerah, meski aku butuh berhari-hari untuk menuliskan kisahku. Keras kepala, mungkin.
Ahh, aku melantur. Seharusnya aku berkonsentrasi pada ceritaku, bukannya mengorek-ngorek kekuranganku sendiri. Sebelah tanganku mengaduk-ngaduk nasi goreng. Lagi-lagi buntu.
Buntu.
Buntu.
Buntu.
***
Wajahku kembali berhadapan dengan layar komputer. Menatap hampa, tanpa insipirasi. Teriakan dan erangan tak lagi membantu. Nasi goreng yang lezat pun hanya membahagiakan cacing-cacing peliharaanku.
Mungkin kau hanya harus menyerah. Sebuah suara berkata dalam benakku.
Mataku lelah, kemana pun kuarahkan pandangan mataku, yang kulihat hanyalah kata buntu dimana-mana. Tidak di ranjang, keranjang cucian, meja belajar, ataupun di poster Einstein yang selalu mencibir itu.
Tuh kan, kau memang tidak berbakat. Suara itu menggaduh kembali. Ah, diam!
Aku menengadah ke langit-langit kamarku. Memejamkan mata. Berusaha mengingat lembaran-lembaran hidupku yang bisa dijadikan referensi. Aku hidup di keluarga yang terlalu realistis. Dimana mimpi adalah sesuatu yang janggal. Dimana hidup adalah sebuah perjalanan yang tidak muluk-muluk. Dimana menjadi pegawai negeri adalah pilihan yang dianggap paling nyaman dan aman untuk diambil.
Sebagai anak paling bontot, aku merupakan bocah terakhir yang memerlukan biaya. Kedua orang kakakku telah bekerja sebagai pegawai negeri—sesuai harapan orangtuaku. Aku ingin punya mimpi. Meski mimpi itu akan diolok ibuku sepanjang hidupnya. Aku merasa berhak untuk bermimpi. Walau mimpi itu adalah sesuatu yang berada di luar jangkauanku.
“Menyerahlah, lupakan saja mimpi mulukmu! Karyamu tak bermutu,”, kata-kata ibuku dulu terngiang lagi di kepalaku.
Ah Ibu, tahukah kau betapa inginnya anakmu ini menjadi seorang penulis ternama. Seorang penulis yang mampu menggoreskan kata-kata penuh makna yang mampu membuat pembacanya tersenyum, tertawa, menangis dan berbagai emosi lain yang berdiam di setiap diri manusia. Seseorang yang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain seperti para penulis idolaku. Aku ingin. Tapi, entah kenapa, setiap kali aku berusaha menuliskan ide-ide yang terlintas, ia lantas menguap begitu saja. Membuatku lagi-lagi mengeluarkan erangan-erangan aneh ketika berada di depan monitor komputerku.
Demi mimpi itu juga, aku masuk ke universitas di kota lain dengan harapan ketika jauh dari ibuku dan ejekannya tentang betapa aku tidak berbakat, aku mampu mengembangkan intuisiku sebagai seorang penulis.
Aku meninggalkan kotaku dengan tekad bulat, bahwa aku akan membuktikan pada ibu, aku bisa. Aku bukan sekedar pemimpi yang tak berjuang. Karena punya mimpilah, aku berjuang. Ketika pertama kali aku menginjak aroma kampus yang masih begitu asing, aku berjanji pada diriku sendiri aku tidak akan menyerah.
Aku membuka mataku perlahan. Terasa panas di kedua sudutnya. Ya, benar, aku telah berjanji. Aku akan memenuhinya meski itu akan memakan waktu puluhan tahun atau ratusan tahun sekalipun. Meski kata buntu bertumpuk-tumpuk sekalipun di kamarku. Aku tidak boleh menyerah.
Meski Ibu tak akan pernah mendukungku selamanya, aku akan buktikan kalau waktu akan mendewasakanku dan karyaku. Akan kubuat kau bangga Ibu pada mimpiku yang kau anggap hanya mimpi kekanakan yang tidak akan membuatku bahagia. Meski jalan ini mungkin masih sangat panjang. Aku tidak akan menyerah. Untukmu, dan untuk janjiku.
Naifnya, suara itu berisik lagi.
“Silahkan tertawa! Aku tidak akan menyerah!” pekikku pada kesunyian kamarku.
Jam dinding yang tergantung miring di kamarku menunjukkan pukul empat sore. Aku merasakan lelah di punggungku. Mungkin aku perlu istirahat sejenak dan memulainya lagi nanti. Semoga, ketika terjaga nanti, sebuah ide brilian akan muncul dengan dramatisnya. Amin, desisku seraya perlahan berbaring, berharap dunia mimpi merengkuhku mesra dengan segera. Ah, dan semoga ide itu bisa kutuangkan dalam enam halaman cerpen yang menginspirasi. Amin lagi.
***